loading...
Perjalanan jauh dengan kereta adalah satu perjalanan yang penuh dengan petualangan. Beberapa hal yang dapat kita bisa dari perjalanan jauh ini. Seperti cerita perjalananku sepanjang dua hari satu malam dengan Kereta Bima, Jakarta-Surabaya. Perjalanan kesempatan ini, seperti perjalana-perjalanan terlebih dulu, tidak pernah kusia-siakan cuma dengan melihat-lihat panorama melalui jendela maupun tertidur sepenjang perjalanan. Ada satu hal yang umum kulakukan untuk isi perjalanan dengan kereta api yakni dengan “mengobrol”. Mengobrol adalah langkah yang ampuh untuk mengusir rasa jemu serta baik untuk kesehatan terlebih otot-otot muka manfaat melindungi keremajaan kulit serta elastisitasnya. Mengobrol cuma memerlukan sedikit daya dengan sedikit camilan serta sebotol softdrink lengkaplah sarana untuk mengawali satu percakapan.
Telah tiga puluh menit berlalu sejak saya terduduk sendiri di bangku nomer 14 gerbong ketiga. Kulihat bangku nomer 15 yang terdapat disebelahku belum juga terisi penumpang serta bangku nomer 13 serta 12 yang terdapat dihadapanku kosong sekalipun. “Kalo begini bagaimana saya dapat bisa rekan bercakap? ”.
“Ting…teng…ting…teng…lima menit lagi Kereta Bima bakal selekasnya diberangkatkan”, demikian bunyi pengumuman serta petugas stasiun. Kereta mulai penuh oleh beberapa penumpang. Semuanya bangku sudah terisi terkecuali tiga buah bangku yang ada di dekatku, tidak ada juga yang tempati. Telah empat puluh menit saya menanti rekan seperjalananku, tetapi mungkin saja takdir berkata lain. Di perjalanan kereta kesempatan ini, mungkin saja bakal kulewatkan dengan tidur atau melihat-lihat panorama saja.
“Huaaaah…!! ”, situasi ini membuatku mengantuk, mataku mulai berkaca-kaca. Tidak merasa saya juga terlelap untuk sekian waktu. “Roooeng…!!! ”, “Hah, bunyi apa itu…? ”, saya tersentak, serta bangun dari tidurku. Oh rupanya bunyi yang melengking itu hanya bunyi tandanya kereta bakal selekasnya diberangkatkan. Kereta juga mulai pergi. “Huaaah…!! ”, lagi-lagi meliuk-liukkan badanku, coba melemaskan semuanya otot-otot yang tadi kaku lantaran kugunakan tidur dalam kondisi duduk. Saat ini ngantukku terasanya hilang dalam waktu relatif cepat oleh getaran-getaran memiliki irama yang diakibatkan oleh roda-roda kereta. Kuperhatikan seputarku, kelihatannya bangku nomer 12 serta 13 yang ada di hadapanku dan bangku nomer 15 yang terdapat di sampingku memanglah tidak ada yang menempatinya. Atau memanglah tidak ada yang ingin mendudukinya? Ah saat bodoh…
Mendadak seseorang wanita muda dengan terburu-buru jalan sembari menyeret satu koper yang nampaknya cukup berat menuju ke arahku. Dia nampaknya perlu pertolongan. Pak kondektur juga menghampirinya. “Anda perlu pertolongan Nyonya? ”, tegurnya dengan sopan. “Iya Pak, tolong saya Pak! ”, tutur nyonya itu dengan suara 1/2 cemas. “Maaf nyonya, dapat tolong perlihatkan ticket anda? ”, tutur sang kondektur. “Ini pak, saya duduk di bangku nomer 13”, jawabnya dengan nafas terengah-engah. “Oh bangku nomer 13 ada di samping sini nyonya. Silakan, anda dapat duduk serta tenangkan diri anda terutama dahulu”, ujarku memotong perbincangan mereka.
“Pak kondektur.. anak saya pak…anak saya hilang di kereta ini”, tutur nyonya itu yang nampaknya tidak menghiraukan perkataanku.
Pak kondektur juga berkata lagi pada nyonya itu dengan lembut “Nyonya, anda dapat duduk dahulu di bangku serta katakan semuanya peristiwanya pada kami. ”
Mendengar hal semacam itu lalu si nyonya juga pada akhirnya duduk serta lalu mulai coba menentramkan diri. Sesudah terasa cukup tenang ia juga menceritakan “Begini Pak Kondektur, saya naik ke kereta ini berbarengan anak lelakiku yang bernama Andi. Saat kami tiba di stasiun, kereta nyaris saja pergi. Lantaran takut ketinggal kereta saya juga menambah Andi terlebih dulu lalu saya turun lagi untuk membawa koper yang kutitipkan pada seseorang penjual makanan yang menanti di depan pintu masuk gerbong lima kereta ini. Disamping itu Andi ku suruh mencari tempat duduk nomer 13 serta 14 yang sudah kami pesan. Waktu itu beberapa penumpang masuk dengan cara berdesakkan, mungkin saja mereka juga tidak menginginkan ketinggal kereta. Bahkan juga saat saya menginginkan masuk, nyaris saja saya terdorong keluar oleh penumpang lain yang juga ikut berdesak-desakkan. Serta sesampainya didalam kereta saya mencari-cari Andi serta tak menemukannya. ”
“Oh begitu”, tutur kondektur manggut-manggut. “Ehm begini saja nyonya. Saat ini saya bakal mencari anak nyonya serta nyonya silakan tunggulah disini. Oh ya apakah nyonya meyakini bila anak nyonya telah masuk kedalam kereta ini? ”, Bertanya pak kondektur.
“Saya meyakini pak. Anak saya tidak mungkin saja keluar lagi, lantaran saat kami masuk, beberapa penumpang yang lain juga masuk bahkan juga sampai berdesak-desakkan hingga tidak mungkin saja ia dapat keluar. ”, terang nyonya itu.
“Oh ya, bagaimana tanda-tanda anak nyonya? ”
“Hmm…anak saya menggunakan pakaian baju warna biru laut serta celana pendek warna hitam. Umurnya 10 th. serta tingginya sekitaran 150 cm. Ia berkaca mata serta rambutnya hitam lurus. ”, jawab nyonya itu.
“Ya…cukup terang, kami tentu menemukannya”, tutur sang kondektur memberikan keyakinan nyonya itu.
Lima menit sudah berlalu, tetapi si kondektur tadi tidak juga kembali. Nyonya itu terlihat masihlah gelisah mulai sejak tadi, berwajah memerah dipenuhi sejuta penyesalan.
“Maaf nyonya, ingin permen? ”, ujarku seraya menyodorkan lima bungkus permen cokelat yang tadi kubeli dari pedagang kaki lima.
“Hmm maaf…terima kasih”, katanya menampik.
“Tenang saja nyonya, tidak butuh sangat gelisah. Anak nyonya tentu diketemukan, mungkin saja saja dia tadi bingung serta tersesat di gerbong lain. Kereta ini kan cuma terbagi dalam sebagian gerbong serta anak nyonya tidak mungkin saja bakal jauh-jauh juga dari sini’, ujarku coba menenangkannya.
“Oh ya, maksud nyonya ingin kemana? ”
“Hmm…. saya ingin ke Surabaya, ke tempat tinggal kakak ipar saya untuk menyampaikan kabar satu hal”, jawab nyonya itu.
“Lalu suami anda…? ”
“Dia barusan meninggal dunia tiga hari yang lalu”
“Oh maaf nyonya…ehm saya ikut berduka cita atas meninggal dunianya suami nyonya. ”
Saat juga sudah berlalu dua jam lamanya. Hari saat ini mulai beranjak sore, kereta api delapan gerbong yang saat ini kunaiki mulai menembus senja. Obrolanku dengan nyonya ini makin menarik saja, serta kelihatannya si nyonya mulai melupakan anaknya yang belum juga diketemukan.
Sekarang ini saya mulai tahu banyak mengenai nyonya itu. Nyatanya yang duduk di bangku nomer 12 yaitu anaknya serta yang duduk di bangku nomer 15 yang ada disebelahku yaitu suaminya yang saat ini sudah meninggal dunia sejak tiga hari waktu lalu. Suaminya yaitu seseorang polisi lokal. Ia meninggal dunia lantaran tertembak saat berlangsung baku tembak dengan beberapa perampok bank tiga hari waktu lalu. Awal mulanya mereka bertiga memanglah akan berlibur ke tempat tinggal Nenek anak semata wayangnya di Surabaya. Kematian sang Bapak pada awalnya bikin gagasan kepergian Si Nyonya dibatalkan. Tetapi lantaran si Nyonya lalu memperoleh berita kalau ibundanya di kampung halaman tengah sakit keras, serta dengan pertimbangan ticket yang telah dipesan, jadilah mereka berdua memaksakan diri pergi ke Surabaya walau masih tetap dalam situasi duka.
“Maaf nyonya apa makanan favoritmu? ”, tanyaku.
“Hm…aku sangat suka pada cokelat, suamiku serta anakku juga menyenanginya. Cokelat telah lama jadi makanan favorite keluarga kami. ”, jawabnya. “Kalau anda Tuan? ”
“Hmm…aku juga sukai cokelat, namun kadang-kadang saya juga sukai permen serta kembang gula. Pokoknya semuanya makanan yang manis-manis saya menyenanginya. ”, jawabku.
Mendadak si nyonya itu keluarkan satu kotak dari tas kecil yang diipangkunya. Serta ia buka kotak itu. Nyatanya berisi yaitu cokelat.
“Anda ingin cokelat, Tuan? ”, katanya seraya menyodorkan kotak itu ke arahku.
Saya juga mengambil tiga bungkus cokelat dari kotak itu. “Hmm…terima kasih nyonya. ”, ucapku seraya menyimpan dua bungkus cokelat kedalam saku bajuku. Sesaat yang sebungkus lagi kubuka serta kumasukkan kedalam mulutku.
“Bagaimana rasa-rasanya, Tuan? ”, Bertanya nyonya itu.
“Hmm…sangat enak. ”, jaawabku.
Nyonya itu cukup menarik untuk jadikan rekan bercakap. Sesudah demikian lama mengobrol nampaknya saya mulai sukai kepadanya. Wanita itu lumayan cantik, berwajah begitu ayu dengan bibirnya yang manis. Matanya juga indah. Rambutnya tergerai lurus sepinggang. Lama-lama saya terasa tertarik padanya. Hatiku mulai bertanya-tanya “Apakah saya sudah jatuh cinta? ’
Dalam waktu relatif cepat kami jadi lebih akrab. Rupanya si nyonya itu juga sukai mengobrol sepertiku. Kami juga meneruskan percakapan kami sampai lupa saat.
Sejam lalu. Pak kondektur datang mengantarkan seseorang anak memiliki rambut lurus serta berkaca mata. “Oh anakku! ”, si nyonya sesaat tersentak lihat anaknya, lantas memeluknya sembari menetesakan air mata. Ia baru ingat kalau anaknya sudah hilang di kereta sebagian jam waktu lalu. Dengan perasaan bersalah ia juga memeluk anaknya erat-erat sembari menangis.
Saya serta pak kondektur cuma dapat melihat ke-2 anak serta ibu itu sembari tersenyum lega. Kemudian si nyonya itu juga lalu berterima kasih pada pak kondektur.
“Maaf nyonya kami sangat lama temukan anak anda. Nampaknya anak anda tersesat di kereta ini serta kelelahan, lantas ia juga tertidur di dekat tumpukkan barang di sudut gerbong delapan. Semula kami tidak menduga anak itu bersembunyi disana. Tetapi, sesudah kami memikirkan kalau tidak ada kelirunya mengecek tumpukkan barang kami juga memeriksanya serta sukses temukan anak nyonya ini. ”, terang pak kondektur.
‘Tak apa-apa pak kondektur, yang utama sekarang ini anakku telah di dapatkan. Terima kasih…. pak…saya katakan beribu-ribu terima kasih. ”, tutur nyonya itu.
“Tak apa nyonya, itu memanglah telah pekerjaan kami. ”, tutur pak kondektur.
Selang beberapa saat situasi juga kembali tenang. Sang anak telah duduk di bangkunya serta si nyonya kembali meneruskan obrolannya denganku. Kami juga mengobrol cukup lama serta kuperhatikan, sepanjang kami mengobrol, anak nyonya itu menatapku tajam ke arahku. Saya jadi sedikit salah tingkah.
Anak nyonya itu nampaknya tidak sukai kepadaku. Ia lantas menarik-narik ibunya serta membisikkan suatu hal ke telinga ibunya. Si nyonya manggut-manggut lantas bicara lirih kepadaku “Tampaknya anakku tidaklah terlalu menyukaimu, maaf ya, berharap di maklumi lantaran anakku barusan kehilangan ayahnya. Jadi, ia tidak demikian sukai bila ada lelaki lain yang mendekatiku. ”
Saya juga manggut-manggut seraya tahu apa yang disebut si nyonya itu. Saya juga dapat mengerti perasaan mereka. “Hmmm…. baiklah bila demikian saya mohon diri sesaat, rasa-rasanya menginginkan saya jalan-jalan ke gerbong lain. Lagi juga kakiku rasa-rasanya mulai kesemutan sejak tadi duduk di bangku. ”, ujarku pamit untuk pergi sesaat.
Sembari jalan enjoy saya juga menelusuri gerbong-gerbong kereta hingga di ujung gerbong ke delapan yang terdapat paling ujung, saya duduk di satu bangku kosong yang terdapat di depan bagasi tempat beberapa barang. Bangku-bangku di gerbong delapan kelihatannya banyak yang kosong. Saya lalu memandang keluar jendela sembari melihat bln. purnama yang membumbung tinggi diluar sana.
Tidak merasa tiga puluh menit berlalu dengan cepatnya. Saya bangkit dari tempat duduk serta jalan menuju bangku nomer 14, tempat dudukku yang awal mulanya, “Mungkin si anak tadi telah lelap tertidur serta saya juga dapat bercakap lagi dengan si nyonya tadi. ”, fikirku.
Tetapi, sesampainya di bangkuku, yang ada cuma anak tadi yang masihlah terbangun. Lalu saya juga duduk, serta membulatkan tekad ajukan pertanyaan pada anak itu. “Nak, di mana ibumu? ”
“Mau apa anda mencari-cari ibuku! Lagi juga apa masalahmu bertanya di mana ia ada, toh anda kan bukanlah ayahku! ”, ucapnya kasar.
Hatiku bergetar mendengar pengucapan anak kecil itu, sebentar saya berasumsi anak ini kurang ajar, namun mungkin saja ada benarnya juga. Meskipun saya sukai pada ibunya namun kan ia telah berkeluarga serta susah untuk satu keluarga untuk dengan gampang kehilangan satu diantara anggota keluarga yang dicintainya ataupun dimasuki oleh orang yang baru mereka kenal. Saya serta anak itu juga terdiam sebagian lama lalu anak itu tertidur nyenyak. Saya juga mulai mengantuk lantaran sejak tadi cuma diam mengunci mulut. Pada akhirnya saya juga memejamkan mata serta tertidur nyenyak.
Sebagian waktu lalu terdengar lagi olehku deru roda-roda kereta yang memiliki irama. Saya juga mulai buka mataku lagi. Tetapi, saat ini dihadapanku duduk seseorang pria gagah yang kenakan satu baju putih serta bercelana cokelat. Rambutnya terlihat klimis serta dia juga terlihat lebih arif dengan kacamatanya. Saya mulai bingung, tidakkah yang tadi duduk dihadapanku ini seseorang nyonya serta anaknya. “Ah mungkin saja saja saya tengah punya mimpi. ”, batinku.
Saya juga berteman dengan pria itu, namanya Andi. Sama seperti nama anak kecil yang kutemui dalam mimpiku tadi. Serta kami juga mengobrol mengenai segalanya. Andi mulai terbawa perbincangan. Demikian halnya denganku. Kami sama-sama sharing pengalaman, sharing narasi serta sharing alamat serta nomer telephone.
“Oh ya, Tuan. Maukah engkau kuceritakan satu cerita menarik waktu saya berusia 10 th.? ”, Bertanya Andi. “Oh sudah pasti. ”, jawabku. “Baiklah, bakal kuceritakan. ”, Andi juga menceritakan mengenai pengalamannya saat ia berumur 10 th.. Saat itu ia tersesat di gerbong kereta serta tidur di bagasi barang. Serta waktu diketemukan serta di bawa oleh kondektur menjumpai ibunya, ia merasakan ibunya tengah asik mengobrol dengan seseorang pria yang tidak ia kenal serta ia juga pada akhirnya terasa cemburu lantaran belum lama ayahnya wafat. Ia tidak menginginkan miliki bapak yang baru lantaran ia sangat menyukai ayahnya. Andi menyuruh ibunya supaya berhenti bercakap dengan lelaki itu serta menyuruhnya pergi. Lantas setelah lelaki itu pergi, Andi berkelahi dengan ibunya hingga ibunya jengkel serta pada akhirnya pergi untuk geser gerbong. Saat ibunya sudah pergi, lelaki yang sejak tadi mengobrol dengan ibunya datang kembali serta bertanya mengenai kehadiran ibunya. Adi menjawab dengan suara ketus “Mau apa anda mencari-cari ibuku! Lagi juga apa masalahmu bertanya dimana ia ada, toh anda kan bukanlah ayahku! ”
“Aku terasa bersalah dengan perbuatanku pada lelaki itu serta menginginkan rasa-rasanya saya memohon maaf atas sikap kasarku dahulu padanya. ”, Andi tutup ceritanya.
“Lalu di mana ibumu sekarang ini? ”, tanyaku.
“Ibuku geser gerbong serta nyatanya ia geser ke gerbong belakang. Sebagian waktu sesudah saya tertidur saya terasa aneh serta beranjak dari tempat dudukku. Mendadak berlangsung tabrakan pada kereta yang kutumpangi dengan kereta lain. Waktu itu saya ada di gerbong tiga serta selamat sedang ibuku rupanya tewas lantaran ia geser ke gerbong belakang yang hancur akibat tabrakan itu. Saya sangat menyesal kalau saja saya membiarkan ibuku tetaplah mengobrol dengan pria itu mungkin saja ibuku tidak bakal geser gerbong serta menyusul ayahku ke alam baka. ”, Andi menerangkan panjang lebar untuk beberapa kalinya.
“Oh, saya ikut bersedih atas pengalamanmu yang sangat menyedihkan. ”, ujarku bersimpati. Dalam hati saya berpikir mungkinkah saya melenggang ke saat lantas sepanjang saya tertidur, atau mungkin mimpi itu cuma kebetulan saja.
“Hmm…boleh saya bertanya suatu hal? ”, tanyaku.
“Oh ya, silakan. ”, jawab Andi.
“Hmm…aku menginginkan tahu, waktu kau terbangun…. sebelumnya kecelakaan itu.. kau tahu di mana pria yang duduk di hadapanmu? ”, tanyaku lagi.
“Kurasa ia pergi ke gerbong lain waktu saya tertidur, yang pasti saya tak menemukannya waktu saya terbangun. ”
Seribu satu sinyal bertanya mulai memusar di dadaku. Benarkah pria yang ada di saat lantas itu yaitu saya? Sebentar saya masihlah ingat senyuman nyonya yang tadi duduk di bangku nomer 13 serta mengobrol denganku sembari menanti anaknya diketemukan hatiku mulai gundah, tidak mungkin saja ini satu kebetulan…tapi bagaimana dapat?
“Maaf, Tuan. Apa kau sukai jalan-jalan dengan kereta? ”, Andi mendadak memotong lamunanku.
“Oh…eh…iya…tentu saja…”, jawabku gugup.
“Selama hidupku saya terasa dihantui perasaan bersalah pada pria yang kucaci maki 10 th. lantas. Tiap-tiap saya melancong naik kereta saya senantiasa pesan bangku nomer 13 tempat dulu ibuku duduk sebelumnya ia pergi untuk selamanya. Serta saya juga senantiasa bercerita cerita ini pada tiap-tiap orang yang duduk di bangku nomer 12, 14 serta 15. saya juga senantiasa berpesan pada kebanyakan orang yang kuceritakan mengenai cerita ini untuk mengemukakan permintaan maafku yang sebesar-besarnya untuk pria yang 10 th. lantas kucaci maki. Ibu serta ayahku disana tentu tidak sukai memaafkanku seandainya permintaan maaf ini tidak hingga pada pria itu. Maukah Tuan membantuku? ”, pinta Andi.
“Baiklah saya bakal membantumu. Serta saya meyakini pria itu tentu telah memaafkanmu, lantaran dahulu umurmu kan masihlah 10 th.. ”, ujarku menghibur Andi.
“Saat ini tentu pria itu telah berusia sekitaran 40 th. serta mungkin saja dia telah miliki istri serta anak. ”, tutur Andi.
Kereta juga selalu melaju, sampai pada akhirnya tiba di kota Surabaya. Saya serta Andi juga turun di satu diantara stasiun di Kota Pahlawan itu. Dari sana kami berpisah menuju ke tempat maksud kami semasing. Meskipun kami telah berpisah masihlah saja saya pikirkan serentetan momen yang kutemui di kereta tadi. Sejak waktu itu saya juga mulai berjanji, saya tidak bakal banyak bercakap sepanjang perjalanan dengan kereta. Saya juga tidak akan lagi-lagi tertidur di bangku kereta. Mungkin saja saya dapat mengusir kebosanan dalam perjalanan dengan membaca-baca buku sembari minum kopi, atau melihat-lihat panorama selama perjalanan.
Namun “Ops…! ”, tidak kusadari ke-2 ikatan tali sepatuku lepas, saya juga berjongkok untuk menalikannya kembali. Tetapi waktu saya berjongkok, “Pluk…!! ”, dua bungkus cokelat jatuh dari sakuku. Saya mulai berpikir dari tempat mana cokelat-cokelat ini, saya terasa tidak pernah beli cokelat selama perjalanan. “Ah…. aneh-aneh saja yang berlangsung hari ini. ”