Senin, 21 Maret 2016

Ilmu Santet Banyuwangi Osing

loading...
Seperti malam-malam terlebih dulu, Rabu malam itu Mateha terlihat bermalas-malasan mencari angin di teras tempat tinggal tempat tinggalnya. Mateha yaitu seseorang kakek uzur, berusia 84 th.. Tubuhnya yang kerempeng telah terlihat mulai mengerut. Tetapi belum lagi senang berleha-leha, dua buah truk colt diesel bermuatan beberapa puluh orang mendadak parkir di depan tempat tinggalnya. Tanpa ada basa-basi mereka segera menyerbu kakek renta itu. Sembari berlompatan turun, beberapa orang itu berteriak-teriak kencang, “Bunuh dukun santet itu! Bunuh dukun santet itu! ” sambil mengacung-acungkan senjata tajam, balok kayu serta tangan kosong. Mateha gemetar. Lututnya lemas. Ia cuma dapat pasrah terima pukulan yang bertubi-tubi menghunjam ke tubuhnya. Sesudah senang memukuli, rombongan itu lantas membopong badan kurus Mateha ke atas truk. Keluarganya tidak dapat menghindar. Mereka begitu ketakutan lihat keganasan massa itu. Sebagian waktu lalu truk melesat meninggalkan Dusun Pancoran, Desa Banjarsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Siapakah beberapa orang asing itu? 
Mereka yaitu beberapa pemuda datang dari desa tetangga, Desa Licin. Beritanya beberapa penyerang itu berniat diupah untuk menghabisi Mateha. Otak pelaku tindakan itu, disangka, Arba’i serta Misadi, yang tinggal sedusun dengan Mateha. Bahkan juga Misadi terhitung keponakan Mateha. Pada wartawan, Arba’i serta Misadi mengakui telah lama menyimpan dendam kesumat pada Mateha. Pakdenya itu, dipercaya Misadi, sudah menyantet ayahnya sampai menjumpai ajal sekian waktu lalu. Istrinya juga bernasib sama. Motif Arba’i sekali tiga duit. Ia berkeyakinan ayahnya wafat satu tahun lebih lantas karena disantet Mateha. Dua putranya juga alami nasib sama. Keduanya tewas sesudah semua berwajah dijangkiti penyakit kudis, hingga wujudnya menyeramkan. Menurut orang pandai yang ditemuinya, penyakit itu lantararan disantet Mateha. Hingga pada akhirnya peristiwa yang ditunggu tiba. Tanpa ada disangka, mulai sejak sebagian bln. paling akhir “musim” tindakan pembantaian dukun santet menempa nyaris semua Banyuwangi. Mereka lalu ikuti ‘tren’. Singkat cerita, ia mendatangi beberapa pemuda Desa Licin seraya melempar gosip : Mateha dukun santet yang sudah membinasakan beberapa orang. Sukses. Sebelumnya pergi ke tujuan, beberapa pemuda itu ditraktir minuman keras, di satu kedai. Tidak lama, mereka naik dua truk sewaan Arbai. Lalu pemuda itu di beri duit rata-rata Rp 15. 000. Kemudian mereka beraksi, hingga pada akhirnya sukses menciduk Mateha. Selama perjalanan, Mateha disiksa. Sesudah meyakini kalau si tukang santet renta itu sudah tewas, berbarengan dengan waktu truk melintas di daerah persawahan sekitaran lokasi Kampung Giri, Mateha segera dilemparkan ke tengah sawah. Ia terkapar di bibir hamparan persawahan. Rupanya, Mateha Hanya pingsan. Tidak ada luka serius. Berbarengan kokok ayam jantan di keremangan kabut subuh, Mateha terbangun. Ia mengerang, serta perlahan bangkit. Dengan beberapa bekas tenaganya, ia jalan pulang ke tempat tinggalnya. 
Kepulangan Mateha bikin bungah keluarganya. Tetapi demikian sebaliknya, berita itu jadi menggegerkan orang sekampung. Gosip cepat menebar : sang dukun santet masihlah gentayangan. Yang paling terperanjat, siapa lagi bila bukanlah Arbai serta Misadi. Tidakkah orang yang begitu mereka tidak suka itu telah dibunuh semalam? Emosi keduanya semakin bergejolak. Mereka juga kembali mengompori warga desa Banjarsari. Lucunya, Mateha jadi cuek. Tak tahu karena pikun atau apa, rutinitas bersantai di teras muka juga masihlah selalu dijalaninya. Seperti satu hari sesudah peristiwa, malam Jum’at, sekitaran jam 22. 00, Mateha yang dikira beberapa warga sebagai dukun santet, disatroni beberapa puluh masyarakat yang menghujatnya. “Bunuh dukun santet! Bunuh dukun santet! ” 
Mateha tersadar, bahaya meneror. “Saya pasrah, walaupun juga jantung merasa ingin copot, ” kenangnya. Sukurlah, Lurah Banjarsari, Adiyat selekasnya datang melerai sebelumnya penganiayaan terulang. “Mereka menuntut Mateha diusir dari dusun, ” cerita Adiyat. Pada akhirnya Adiyat mengungsikan Mateha ke kantor Koramil Glagah. Aman? Belum! Kebencian Arbai serta Misadi masihlah mengintai. Mateha mesti mati. Terlebih, saya keduanya, mereka kadung terima duit dari sebagian janda di desanya untuk menghabisi Mateha, yang dipercaya sudah menyantet suami mereka. 
Siasat juga kembali ditata. Mereka memberi tenaga. Keduanya merekrut Kacung yang di kenal mempunyai reputasi jelek di Banjarsari. Ia residivis, serta pernah ikut serta masalah pembunuhan sekian waktu lalu. Kacung merekrut rekannya Mislami. Mereka setuju bakal mengambil Mateha di Koramil Glagah. Langkahnya Misadi bakal berpura-pura mengamankan Mateha ke saudaranya di Desa Donosuko. Lantaran sampai kini Mateha belum tahu kemauan jahatnya. 
Hari-H juga tiba. Rabu (30/9) sore, sekitaran jam 17. 00, Misadi, Arbai, Mislami serta Kacung tampak melesat dengan mobil colt ke arah kantor Koramil Glagah. Setibanya disana, mereka menjumpai penjaga piket, Sertu Slamet. “Pak, Pak Mateha ingin di ambil keluarganya, ” tutur Kacung pada Slamet. Slamet keluarkan Mateha. Demikian lihat keponakannya, Mateha sontak ajukan pertanyaan, “Ingsun iki arep ira gawa neng ngendi (saya ini ingin dibawa kemana)? ” sesudah diterangkan bakal diamankan, Mateha manut. Mereka juga pergi menuju Desa Donosuko. Misadi menyetir. Di bangku belakang, Mateha duduk diapit Arbai, Mislami serta Kacung.
Di dalam perjalanan, di perbatasan Rejosari, yang membelah dua hamparan persawahan yang gelap serta sepi, Misadi hentikan kendaraan. Mendadak ia perintahkan pamannya turun. Mateha menurut. Belum lagi sadar apa yang akan berlangsung, mereka mengikat lengannya dengan tali. Lantas mereka memukuli Mateha sepuasnya. “Saya kaget. Saya salah apa, kok dipukuli. Wong saya tidak miliki utang sama mereka, ” keluh Mateha. “Pernah nyakitin juga nggak”. Tidak ada ampun. Leher Mateha dijerat tali serta ditarik sekuat tenaga. Yang lain selalu menghujani pukulan. Kemudian Mateha rubuh ke Lumpur. “Setelah itu saya suruh mereka pergi. Tinggalkan saya serta Mateha, ” narasi Kacung. Kacung lakukan eksekusi paling akhir. Dicekalnya leher Mateha yang peot itu. Lalu dibanting ke kanan-kiri. Paling akhir ia benamkan muka Mateha kedalam Lumpur. “Setelah dia tidak napas, saya pulang naik ojek, ” cerita Kacung polos, tanpa ada terasa berdosa. 
Mateha sendiri telah terasa dianya mati. “Saya mati, ” katanya. Namun kenyataannya tak. Ia tidak sadarkan diri. Demikian sadar ia segera bangun. Matahari mulai menyembul di ufuk timur. Mateha tertatih-tertatih jalan pulang dengan muka memar. Di dalam jalan, ia berjumpa seseorang polisi, yang lalu menitipkannya ke balai desa. Pada Adiyat, polisi itu berkata seperti ditirukan Mateha, “Tak amanna dhisik wong iki (Saya amankan dahulu orang ini), ” Dari kesaksian Mateha polisi lantas menciduk Kacung, Misadi, Arbai serta Mislami. Status Mateha yaitu korban yang dilindungi. Pada wartawan ia sendiri mengakui takjub bakal nasibnya. Namun, ia pernah berkata lirih, “Saya malas tidak mati-mati. ” Lalu ia juga terkekeh-kekeh. 
Cerita Mateha tidaklah fiksi. Seperti dilaporkan Majalah Judul (saksikan Majalah Judul, No. 17, 1-15 Oktober 1998) ia yaitu satu diantara saksi (korban) hidup dalam “Geger Tukang Santet” yang merambah nyaris semua daerah tapal kuda di Jawa Timur, menemani robohnya kekuasaan Soeharto di Jakarta pada th. 1998. Waktu itu eskalasi teror serta pembunuhan telah meluas nyaris di semua lokasi Jawa Timur. Terhitung beberapa ratus korban berjatuhan dengan fitnah sebagai ‘dukun santet’. Terkecuali Banyuwangi, yang cukup besar korbannya yaitu di Jember, Situbondo, Probolinggo, Bondowoso, Pasuruan, Bangil, Blitar, serta banyak daerah di Madura seperti Pamekasan, serta Sumenep. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang waktu itu jadi Ketua Umum PBNU menyebutkan insiden itu sebagai “Operasi Naga Hijau” yang akan menghancurkan kemampuan NU. 
Tak tahu apa jalinan pada kebutuhan Misadi serta Arbai Cs (yang mempunyai dendam pribadi) dengan kebutuhan beberapa pelaku “Operasi Naga Hijau” yang disebut-sebut Gus Dur itu. Namun yang tertangkap oleh umum (seperti yang digambarkan beragam mass media) di Indonesia waktu itu yaitu kalau ABRI tengah bermusuhan dengan NU. Jadi tidak heran apabila lalu untuk menangani permasalahan itu ABRI bekerja bersama dengan NU mengadakan apel akbar di Parkir Timur Senayan, Minggu 11 Oktober 1998. Dalam formasi yang cukup komplit beberapa pimpinan ke-2 institusi besar itu ada dalam perhelatan akbar ini. Tidak pelak, apel yang di hadiri belasan ribu nahdliyyin itu terlihat seperti akan meniadakan kesan kalau tengah ada “sesuatu” di antara NU serta ABRI. Walau yang lalu tertangkap malah deskripsi yang demikian sebaliknya. Tersebut bingkai besar (politik nasional) yang melatari pembantaian beberapa ratus ‘dukun santet’ di Banyuwangi Jawa Timur. Konflik bisa jadi berlangsung di Jakarta. Namun korbannya dapat mengambil rakyat dimanapun. Serta Misadi serta Arbai juga, sampai saat ini tidak juga memahami, apa jalinan tindak kekerasan yang dikerjakannya pada Mateha dengan Apel Akbar NU-ABRI di Jakarta. 
Sandera 
Banyuwangi, seperti banyak daerah lain di Jawa, mempunyai histori yang heroik pada satu segi, namun juga senantiasa jadi incaran beberapa elite kekuasaan yang semakin besar pada segi yang lain. Ia bak sandera yang senantiasa akan dicuri beberapa angkara untuk lalu dipertukarkan dengan kebutuhan lain yang semakin besar. Masalah ‘dukun santet’ yang cukup mengerikan seperti tergambar diatas, hanya satu diantara episode saja dari rangkaian panjang histori prahara yang menempa beberapa pewaris tanah Blambangan ini. Dalam sejarahnya, lokasi Blambangan silih bertukar jadi lokasi kekuasaan Majapahit, Mataram serta Bali. Robohnya kerajaan Majapahit diakhir era 15, sesungguhnya buka peluang daerah Blambangan untuk melepas diri dari kekuasaan mana juga. Akan tetapi, dengan cara tradisional raja-raja Blambangan dengan cara genealogis masihlah dikira sebagai keturunan raja-raja Majapahit. 
Daerah Blambangan seperti daerah lain, sesudah robohnya kerajaan Majapahit diakhir era 15 atau awal era 16, jadi daerah merdeka. Akan tetapi hal semacam itu tak bermakna bebas dari ancaman penguasa daerah Jawa Timur ataupun dari Jawa Tengah sebagai sentral penguasa baru sesudah sukses menunundukkan Majapahit. Demak sebagai pusat kekuasaan baru, berupaya menundukkan beberapa penguasa daerah di Jawa Timur seperti Tuban, Surabaya, Pasuruan, Blambangan dan sebagainya. Usaha Demak untuk mengalahkan Blambangan pada th. 1546 gagal bahkan juga Sultan Trenggono sebagai pemimpin ekspedisi gugur dalam pertempuran. 
Ancaman pada Blambangan bukan sekedar datang dari kerajaan-kerajaan besar. Pada th. 1597 Masehi, Pasuruan sebagai kerajaan kecil yang mempunyai kekuasaan militer yang cukup kuat, juga meneror Blambangan. Pada tanggal 18-27 Januari 1597 Blambangan dikepung oleh pasukan dari raja Pasuruan yang berkekuatan 8. 000 orang prajurit. Kebenaran berita ini diperkuat oleh catatan Cornelis de Houtman yang pada th. 1597 Masehi bertandang ke Bali.
Blambangan sempat juga memperoleh serangan berulang-kali dari Mataram, namun senantiasa bisa bertahan. Pada th. 1625 Blambangan terserang dengan kemampuan 20. 000 prajurit, tetapi tak dapat menembus Blambangan. Serangan ke-2 segera ke Blambangan dikerjakan pada th. 1636-1637. Serangan ketiga th. 1639, serangan ke empat 1645-1646. Amangkurat I, pengganti Sultan Agung pada th. 1647 masihlah kirim ekspedisi ke Blambangan serta lalu masihlah disusul serangan selanjutnya th. 1659. Ketika tersebut Blambangan bisa dikalahkan oleh Mataram. Namun penguasaan itu tak berjalan lama. Lantaran pada th. 1676 Pangerang Kedawung (Blambangan) yang bernama Pangeran Tawang Alun mulai mbalelo tidak ingin menghadap ke istana Mataram. 
Pada th. 1686 Untung Suropati sukses membangun kerajaan di Pasuruan. Dalam rencana meluaskan lokasi kekuasaannya ia mengincar daerah Timur, yang bermakna adalah ancaman baru untuk Blambangan. Kemauan ini terhambat ada gempuran tentara Mataram serta kompeni atas Pasuruan. Akan tetapi, tak bermakna Blambangan bebas dari ancaman musuh, lantaran Blambangan masihlah mesti hadapi raja-raja Bali yang berupaya untuk kuasai. Pasukan Buleleng tidak bisa ditahan oleh prajurit Blambangan, serta pada akhirnya pada th. 1696 Blambangan jatuh ke tangan Raja Buleleng. 
Ancaman dari timur pada Blambangan terkecuali dari Bali juga datang dari Bugis yang pernah menyerbu Blambangan, tetapi bisa diatasi oleh Pangeran Agung Wilis. Perubahan politik di Mataram yang ditandai dengan semakin kentalnya jalinan VOC-Mataram dengan kontrak yang di buat oleh Amangkurat I-II dengan VOC, terang adalah ancaman yang beresiko untuk beberapa daerah Jawa Timur. Lantaran didalam kontrak pada VOC dengan Mataram tanggal 11 Nopember 1743 itu diantaranya mengatakan kalau daerah ujung timur Jawa Timur diserahkan pada VOC. Kontrak ini terang adalah ancaman segera untuk Blambangan yang pada saat itu dibawah dampak Bali. 
Beragam momen histori ini, cukup melukiskan begitu daerah Blambangan senantiasa jadi incaran raja-raja besar ataupun kecil di sekelilingnya. Baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur ataupun Bali. Apa dampak perjalanan histori yang sekian ini untuk orang-orang yang berkaitan? Menurut MH Sundoro dkk dari Fakultas Sastra Kampus Jember, hal sekian diantaranya sudah melahirkan grup elite orang-orang yang bertujuan pada kemampuan magis yang ada di sekelilingnya. “Dan satu hal yang terlihat sebagai benang merah dari histori Blambangan yaitu hasrat (sikap) bebas merdeka dari kekuasaan mana juga, serta sikap menentang kekuasaan dari luar. ” (saksikan, MH Sundoro dkk, Tim Jurusan Histori Fakultas Sastra, Kampus Jember, Pangeran Agung Wilis Dari Blambangan Satu Kajian Awal, Makalah dalam Seminar Histori Blambangan, 1993). 
Santet 
Apakah dengan hal tersebut cukup ilmiah untuk menyampaikan kalau orang-orang Banyuwangi—dengan latar belakang sosial historisnya yang kelam—identik dengan santet? Apakah cukup alasantatif menganalogkan orang-orang Blambangan dengan santet (santet sebagai jati diri kebudayaan, umpamanya)? Nampaknya tak. Santet, seperti tingkah laku primitif yang lain, bisa kita temui dimana juga. Bukan sekedar di tanah Jawa atau diluar Jawa saja. Bila kita memerhatikan film-film barat, dengan gampang bakal kita saksikan kalau tingkah laku diluar batas nalar itu ada pula di dalam orang-orang supra moderen seperti Amerika. 
Lantas bagaimana orang-orang Banyuwangi sendiri melihat dunia santet yang berseliweran di sekelilingnya? Mungkin saja jawabannya bakal begitu bermacam. Namun satu hal yang pasti, tidak ada dunia kehidupan ini yang betul-betul dapat dipisahkan pada hitam serta putihnya. Seperti tergambar dalam novel Kerudung Santet Gandrung karya Hasanan Singodimayan, yang cukup terang menuturkan apa serta bagaimana santet itu diperlakukan oleh Wong Using. Santet, dalam penggambaran Hasnan, cuma bakal dipakai untuk beberapa hal yang baik, umpamanya untuk memberi daya tarik seorang yang berprofesi sebagai Gandrung, seperti Merlyn, dengan kemauan yang baik yakni supaya kebanyakan orang suka. Namun pada segi yang lain, bila ada orang punya niat jahat seperti Nazirah, jadi santet malah bakal menghancurkan jiwa yang berkaitan. Serta Santet, dalam novel Hasnan, tidaklah perilaku yang khas punya orang non-santri, namun dalam sebenarnya (seperti dipertunjukkan dalam sosok wanita yang senantiasa kenakan kerudung khas Muslimah, Nazirah) juga punya beberapa orang yang sampai kini mengakui diri sebagai santri patuh. 
Jadi? Bukanlah hal yang susah untuk menyampaikan kalau tingkah laku santet (serta semacamnya) tidaklah monopoli yang khas Banyuwangi. Beberapa orang Blambangan sendiri, seperti dilukiskan dalam Kitab Babad Mentaram, yaitu orang yang dugdeng (kebal) yang meminjam istilahnya Sosiolog Darmanto Jatman, tak tedhas tapak paluneng pandhe, sisaning gurindho. Jadi pasti bukanlah hal yang membanggakan apabila cuma dapat menaklukkan lawan melalui jalan belakang seperti santet. Satu tingkah laku pengecut yang pastinya akan dijauhi oleh beberapa ksatria Blambangan yang populer tangguh—setangguh Pangeran Agung Wilis—itu. Namun kenapa, di tanah air kita sampai kini Banyuwangi diidentikkan dengan santet? Mungkin saja, tersebut pencitraan. 
Dari prahara santet yang berulang di tanah Blambangan, satu hal yang dapat di pastikan yaitu kalau kerugian besar yang kita dapatkan dari pembasmian ‘dukun santet’ yang dikerjakan dengan cara ilegal—sehingga menyebabkan korban yg tidak bersalah—adalah musnahnya budaya menghormati pluralisme. Walau sebenarnya tanpa ada kekuatan menghormati pluralisme,